Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), terdapat beberapa desa yang masih setia pada tradisi dan kepercayaan nenek moyang mereka.
Kepercayaan ini berupa larangan untuk melakukan hal-hal tertentu yang dianggap tabu oleh masyarakat setempat. Menariknya, setiap desa memiliki pantangan yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik mereka.
Berikut adalah empat desa di Yogyakarta yang memiliki pantangan unik bagi penduduknya.
1. Desa Ngino, Warganya Tidak Boleh Membuat Sumur
Dusun Ngino, yang terletak di Desa Margoagung, Kecamatan Seyegan, adalah sebuah kampung yang unik. Berada di barat daya Kabupaten Sleman, dusun ini memiliki tradisi tak tertulis yang diyakini oleh warganya, yaitu larangan untuk menanam tanaman sirih dan membuat sumur.
Nama Ngino berasal dari kata ‘Nginang’, yang dalam bahasa Jawa berarti kebiasaan mengunyah daun sirih. Kebiasaan ini dulunya sering dilakukan oleh Mbah Bregas, sosok yang sangat dihormati oleh masyarakat setempat.
Asal mula larangan membuat sumur dan menanam sirih berakar dari pertemuan antara Mbah Bregas dan Sunan Kalijaga di kampung tersebut. Saat itu, kedua tokoh ini terlibat dalam diskusi mendalam tentang agama hingga larut malam.
Ketika mereka sedang asyik berbagi pengetahuan, tiba-tiba terdengar suara seorang warga yang sedang mengambil air dari sumur untuk menyiram tanaman. Sunan Kalijaga mengira suara tersebut berasal dari seseorang yang sedang mengambil air wudhu untuk melaksanakan Shalat Subuh. Dengan cepat, ia mengakhiri percakapan dan bergegas untuk berwudhu.
Mbah Bregas merasa malu dan menjelaskan kepada Sunan Kalijaga bahwa saat itu belum waktunya Shalat Subuh dan suara yang terdengar adalah aktivitas warga yang menimba air untuk keperluan berkebun. Merasa bertanggung jawab, Mbah Bregas kemudian memperingatkan warga dan melarang mereka untuk memiliki sumur di rumah masing-masing.
Sementara itu, larangan untuk menanam tanaman sirih muncul sebagai bentuk penghormatan terhadap kebiasaan Mbah Bregas yang suka ‘nginang’. Hingga kini, masyarakat setempat tetap mematuhi pantangan tersebut.
2. Desa Kasuran, Warganya Pantang Tidur di Kasur Kapuk
Di Dusun Kasuran Kulon, Desa Margomulyo, Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, masyarakat masih memegang teguh tradisi yang telah ada sejak lama, yaitu tidak tidur di kasur kapuk.
“Tradisi ini sudah ada sejak dusun ini berdiri, dan seluruh warga berpantang tidur di kasur kapuk karena menurut cerita dari nenek moyang, hal itu dapat membawa sial,” ungkap Kepala Dusun Kasuran, Nur Siddiq, pada hari Senin.
Ia menjelaskan bahwa seluruh warga yang terdiri dari 300 kepala keluarga masih tidur di balai bambu atau tempat tidur kayu yang dilapisi tikar.
“Beberapa warga menggunakan serabut kelapa sebagai alas tidur, sementara kasur berbahan busa belum ada yang menggunakannya di Kasuran Kulon,” tambahnya.
Namun, ia mencatat bahwa di Dusun Kasuran Wetan, yang berbatasan dengan jalan kampung, ada sebagian kecil warga yang sudah mulai menggunakan kasur busa.
Selain untuk menghindari kesialan, banyak warga yang memilih untuk tidak menggunakan kasur kapuk sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi nenek moyang mereka.
“Kami tidak tahu mengapa nenek moyang kami memiliki keyakinan untuk tidak tidur di kasur kapuk, tetapi kami diberitahu bahwa itu untuk menghindari kesialan. Kami merasa tidak ada salahnya mengikuti keyakinan ini dan menjaga tradisi yang tidak ada di daerah lain,” jelas Nur.
Salah satu warga, Sandiman (48), mengungkapkan bahwa ia meneruskan kebiasaan tidur tanpa kasur kapuk yang diwariskan oleh orang tuanya.
“Sejak kecil, bahkan mungkin sejak bayi, saya sudah dibiasakan tidur tanpa kasur kapuk oleh orang tua, dan hingga kini saya masih melakukannya,” katanya.
“Kami sekeluarga tidur hanya beralaskan tikar di balai bambu, dan kami tidak merasakan masalah dengan cara tidur ini, bahkan merasa tubuh tetap sehat,” tambah Sandiman. Ia juga telah mulai mengajarkan kebiasaan tidur tanpa kasur kapuk kepada kedua anaknya sejak lahir.
4. Dusun Beteng, Warganya Tidak Membangun Rumah Berdinding Tembok
Dusun Beteng terletak di Kelurahan Margoagung, Kecamatan Sayegan, Kabupaten Sleman. Penduduk di sini memiliki tradisi untuk tidak membangun rumah dengan dinding tembok. Mereka lebih memilih menggunakan bahan kayu atau bambu untuk rumah mereka.
Larangan ini bukan tanpa alasan, melainkan berkaitan dengan sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro dalam mengusir penjajah Belanda dari tanah Mataram. Dahulu, Margoagung menjadi basis pertahanan awal pasukan Diponegoro sebelum Belanda memasuki pusat pemerintahan.
Di daerah ini, Pangeran Diponegoro mendirikan benteng pertahanan yang bersifat gaib. Meskipun tidak ada bangunan fisik yang terlihat, para pejuang dan penduduk setempat percaya bahwa jika pasukan Belanda mendekat, mereka akan melihat benteng besar dengan ribuan prajurit.
Setiap kali kompeni berani mendekati benteng tersebut, mereka akan menemui ajal. Bahkan, kuda-kuda milik kompeni yang melintasi area itu pun akan mati.
Keyakinan inilah yang membuat warga enggan membangun rumah berdinding. Mereka percaya bahwa rumah bertembok dapat mendatangkan bahaya, tidak hanya bagi diri mereka sendiri, tetapi juga bagi tetangga mereka.
4. Desa Kregolan, Warganya Dilarang Membangun Pagar Rumah
Desa Kregolan terletak di Kalurahan Margomulyo, Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman. Nama Kregolan berasal dari kata ‘Regol’ yang dalam bahasa Jawa berarti pagar, dan juga diambil dari nama pendiri desa ini, Mbah Siregol.
Penduduk desa ini memiliki pantangan yang unik, yaitu tidak membangun rumah dengan pagar. Belum ada penjelasan yang pasti mengenai alasan di balik larangan ini, namun kabarnya mereka percaya bahwa membangun pagar akan membawa sial, karena hal itu akan menyamakan nama dengan Mbah Siregol.
Selain itu, warga juga meyakini bahwa pagar dapat mengurangi rasa kebersamaan di antara mereka. Dengan tidak adanya sekat, hubungan antar tetangga menjadi lebih akrab, dan mereka dapat saling berkunjung dengan lebih leluasa.