Sebuah kisah yang baru-baru ini viral di platform media sosial X (sebelumnya Twitter) mengangkat kembali diskusi penting mengenai peran kecerdasan buatan (AI) dalam sektor kesehatan. Peristiwa ini menggarisbawahi bagaimana teknologi AI, seperti ChatGPT, dapat memberikan kontribusi nyata dalam membantu pasien memahami kondisi medis yang gagal diidentifikasi oleh para profesional medis.
Teknologi AI Menjawab Tantangan Kesehatan yang Kompleks
Dilansir dari Times of India pada Jumat (25/7), seorang pengguna bernama Shreya membagikan pengalaman pribadinya saat ibunya menderita batuk kronis selama 18 bulan yang tak kunjung reda. Meski telah berkonsultasi dengan berbagai dokter dan mencoba pengobatan dari homeopati hingga alopatik, tidak satu pun berhasil memberikan diagnosis pasti. Gejalanya bahkan memburuk hingga menyebabkan perdarahan internal, suatu kondisi yang mengancam jiwa.
Dalam kondisi nyaris putus asa, Shreya akhirnya mengambil langkah alternatif: menggunakan ChatGPT, model AI percakapan dari OpenAI, untuk mencari potensi penyebab penyakit sang ibu. Berbekal data gejala lengkap, Shreya memasukkan informasinya ke dalam sistem AI tersebut. Tidak seperti pencarian di internet biasa, ChatGPT mampu menyusun daftar kemungkinan penyebab berdasarkan penalaran kontekstual.
AI Menemukan Petunjuk yang Terlewat: Efek Samping Obat
Salah satu kemungkinan yang ditawarkan ChatGPT langsung menarik perhatian: efek samping dari obat tekanan darah yang dikonsumsi ibunya. AI bahkan mengajukan pertanyaan spesifik terkait kandungan obat tersebut. Setelah Shreya mengonfirmasi bahwa obat yang digunakan memang mengandung zat yang dimaksud, ChatGPT menyimpulkan bahwa obat itulah yang mungkin memicu batuk berkepanjangan serta perdarahan.
Dibekali informasi baru tersebut, Shreya berkonsultasi kembali dengan tim medis. Hasil evaluasi ulang mengonfirmasi bahwa efek samping dari obat tekanan darah tersebut memang bisa menimbulkan gejala seperti yang dialami ibunya. Setelah penggantian resep dilakukan, kondisi sang ibu mulai membaik secara signifikan hanya dalam hitungan minggu.
Shreya pun mengungkapkan rasa terima kasihnya melalui unggahan di media sosial:
“Sekarang dia akhirnya mulai sembuh. Bukan berlebihan, tapi ChatGPT benar-benar menyelamatkan hidupnya,” tulisnya, sambil menyampaikan apresiasi kepada OpenAI dan CEO-nya, Sam Altman.
Reaksi Publik: Antara Pujian untuk AI dan Kritik terhadap Sistem Medis
Kisah ini menuai beragam reaksi di media sosial. Sebagian besar warganet memuji peran AI dalam membantu diagnosis, menyebutnya sebagai bukti bahwa teknologi kini mampu mengisi kekosongan dalam sistem layanan kesehatan. Namun, tak sedikit pula yang justru menyoroti kegagalan sistem medis karena efek samping tersebut seharusnya sudah dikenal luas.
Komentar-komentar muncul, mulai dari candaan tentang dokter yang mungkin tergantikan oleh AI, hingga keprihatinan atas kurangnya ketelitian dalam praktik medis tradisional.
“Hebat! Tapi sebenarnya kegigihanmulah yang menyelamatkan ibumu,” tulis seorang pengguna.
“Wah! Begitulah cara pemanfaatan AI yang benar,” tulis pengguna lainnya.
AI dan Masa Depan Dunia Medis
Kisah ini tidak hanya menyoroti potensi AI dalam membantu diagnosis medis, tetapi juga membuka ruang diskusi tentang bagaimana teknologi dan manusia dapat berkolaborasi dalam sistem kesehatan masa depan. Ketika metode konvensional menemui jalan buntu, kecerdasan buatan dapat menjadi alat pendamping yang memberikan wawasan berbasis data dan konteks untuk mendukung keputusan medis.
Meskipun AI bukan pengganti dokter, kasus seperti ini menunjukkan pentingnya pendekatan multidisipliner dalam penanganan penyakit, termasuk integrasi teknologi AI dalam proses diagnosis dan pengambilan keputusan klinis.