Patung biawak di Wonosobo, yang dikenal sebagai Tugu Monumental Krasak Menyawak, menjadi viral karena keindahan dan kemiripannya dengan biawak asli.
Berikut adalah cerita dan fakta menarik tentang patung ini dirangkum dari berbagai sumber:
1. Latar Belakang dan Lokasi PatungĀ
Patung ini berdiri di Desa Krasak, Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, tepat di pinggir Jalan Raya Nasional yang menghubungkan Wonosobo dan Banjarnegara, dekat Jembatan Krasak. Lokasinya strategis, sekitar 9,3 km dari Alun-Alun Wonosobo dan 5,7 km dari perbatasan Banjarnegara.
Patung setinggi 7 meter (awalnya direncanakan 3 meter) dengan lebar 4 meter, berwarna hitam dengan corak kuning, tampak merayap di atas batu besar sambil menjulurkan lidah dan menoleh ke kiri. Desainnya sangat realistis, sehingga sering dikira biawak sungguhan.
Biawak dipilih karena merupakan hewan yang sering ditemui di Desa Krasak, bahkan nama desa konon berasal dari suara biawak (“menyawak”). Patung ini melambangkan identitas lokal, pelestarian alam, dan harmoni antara manusia dan ekosistem, karena biawak berperan sebagai predator alami yang menjaga keseimbangan hama.
2. Proses Pembuatan dan Seniman
Patung ini adalah karya Rejo Arianto, seniman lokal lulusan Seni Rupa Murni Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Rejo dikenal sebagai pelukis realis, dan patung biawak ini adalah patung ketiganya setelah membuat patung Ganesha dan kuda.
Proses pembuatan patung biawak ini memakan waktu sekitar 1,5 bulan, dengan pembuatan patung itu sendiri selesai hanya dalam waktu satu minggu. Untuk mencapai realisme, Rejo memelihara biawak hidup terlebih dahulu guna mempelajari anatomi dan gerak-geriknya, sehingga patungnya memiliki “jiwa” atau karakter yang hidup.
Patung ini dibuat dengan biaya sekitar Rp50 juta, yang berasal dari dana Corporate Social Responsibility (CSR) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan swadaya masyarakat, bukan dari Dana Desa atau APBD. Anggaran ini jauh lebih kecil dibandingkan proyek patung lain seperti Tugu Penyu di Sukabumi (Rp15,6 miliar) atau Tugu Pesut Mahakam di Samarinda (Rp1,1 miliar), yang sering dikritik karena kualitasnya kurang memuaskan.
3. Viralitas dan Dampaknya
Patung ini mulai viral sekitar April 2025 setelah foto-fotonya diunggah di Instagram dan X, seperti oleh akun @jawafess dan @sosmedkeras. Warganet memuji kemiripannya dengan biawak asli dan membandingkannya dengan patung lain yang jauh lebih mahal namun kurang berkualitas.
Meski belum sepenuhnya selesai (rencananya akan ditambah taman di sekitarnya), patung ini telah menarik ribuan pengunjung. Pada puncaknya, sekitar 2.000 orang per hari datang untuk berfoto, menjadikannya destinasi swafoto baru. Warung-warung lokal, seperti penjual cilok dan bakso, juga meraup keuntungan dari ramainya pengunjung.
Pada 26 April 2025, patung ini resmi mendapatkan perlindungan hak cipta dari Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah, diserahkan kepada Rejo Arianto dan Bupati Wonosobo Afif Nurhidayat. Perlindungan ini berlaku selama hidup Rejo ditambah 70 tahun setelah wafat, menandakan pengakuan atas nilai seni dan budayanya.
Inisiatif dan Kolaborasi
Ide patung ini berasal dari Karang Taruna Desa Krasak yang ingin menciptakan ikon yang mencerminkan kearifan lokal setelah kegiatan lingkungan hidup. Proyek ini didukung oleh gotong royong masyarakat dan kolaborasi dengan Pemkab Wonosobo serta BUMD.
Bupati Afif Nurhidayat mengapresiasi inisiatif pemuda dan seniman lokal, menyebut patung ini sebagai bukti bahwa kreativitas dan kolaborasi dapat menghasilkan karya luar biasa dengan anggaran minimal. Ia berharap patung ini meningkatkan pariwisata Wonosobo.
Meski Rp50 juta dianggap efisien, sebagian warganet awalnya menganggap biaya ini terlalu besar. Rejo menjelaskan bahwa ia bahkan berutang demi menyelesaikan proyek ini, menegaskan komitmennya untuk memberikan hasil terbaik meski dengan dana terbatas.
4. Signifikansi dan Reaksi Publik
Patung ini bukan hanya karya seni, tetapi juga representasi kekayaan fauna lokal dan kolaborasi komunitas. Warga seperti Faza Lutfia, penduduk Wonosobo, merasa bangga karena patung ini menjadi daya tarik baru sebelum masuk kota.
Kehadiran patung telah memicu aktivitas ekonomi kecil, dengan pedagang kaki lima membuka lapak di sekitar lokasi. Ini menunjukkan potensi patung sebagai penggerak ekonomi lokal.
Ada cerita unik di media sosial bahwa patung ini membawa keberuntungan, seperti kisah Joko yang menang besar dalam permainan digital setelah berfoto di depan patung. Meski bersifat anekdotal, cerita ini menambah daya tarik patung.
Kesimpulan
Patung biawak di Wonosobo adalah contoh luar biasa dari kreativitas seniman lokal, efisiensi anggaran, dan semangat gotong royong. Karya Rejo Arianto ini tidak hanya mempercantik Desa Krasak, tetapi juga menjadi ikon baru yang meningkatkan pariwisata, kebanggaan lokal, dan potensi ekonomi. Dengan perlindungan hak cipta dan rencana pengembangan taman, patung ini diperkirakan akan terus menjadi daya tarik utama di Wonosobo, membuktikan bahwa karya seni berkualitas tinggi tidak harus mahal.